Thursday, February 24, 2011

Prespektif Kebudayaan Daerah Bali

Budaya dan masyarakat merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena budaya dibentuk oleh masyarakat atau tidak ada budaya tanpa masyarakat demikian juga sebaliknya masyarakat merupakan pendukung dari kebudayaan sehingga tidak ada masyarakat tanpa budaya. Sehingga hubungan antara budaya dan masyarakat adalah hubungan yang bersifat timbal-balik; kebudayaan membentuk manusia, tetapi manusia juga membentuk kebudayaan.

Konsepsi kebudayaan yang diuraikan dalam pasal 32 mengenai kebudayaan Nasional dan kebudayaan Daerah-daerah di Indonesia, dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pasal ini, menitik beratkan pada usaha budi manusia, dengan sifat memajukan, mempersatukan, dan mempertinggi derajat manusia. Ada tiga wawasan pokok yang menjadi jiwa dari pasal 32 itu, yakni; wawasan kemanusiaan, wawasan kemajuan, dan wawasan kebangsaan.

Terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa ini adalah didukung oleh adanya Kebudayaan Nasional Indonesia. Penampilan dari berbagai manifestasi budaya seperti budaya Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Bali, Lombok, dan sebagainya. Hal tersebut sering menaungi munculnya kebudayaan baru, dan sangat berarti bagi penduduk Indonesia yang makin besar ini.

Sebagai contoh Kebudayaan Bali . Kebudayaan Bali umumnya menerima unsur-unsur asing untuk menjadi milik dan memeperkaya kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian. Potensi ini menjadi amat penting dalam menghadapi globalisasi kebudayaan. Sebagai suatu sistem kebudayaan, Bali memiliki kekayaan variasi dan dieversifikasi sesuai dengan adagium desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan kondisi). Keberadaan seperti ini menggambarkan satu kondisi Bhineka Tunggal Ika dalam kebudayaan. Dalam menghadapi kontak-kontak budaya Bali dengan budaya lain, nilai ini menjadi faktor ketahanan budaya.

Dari gambaran keanekaragaman di atas, selanjutnya bagaimana dengan daerah Propinsi Bali yang merupakan pintu gerbang utama pariwisata bagi Indonesia, bahkan sudah sejak awal abad ke-20 Bali telah menjadi perhatian pelancong mancanegara. Secara strategis daerah Propinsi Bali merupakan tempat lalu lintas dari segala penjuru dunia, maka kontak atau hubungan dengan bangsa dan budaya asing sulit dihindari. Terlebih dengan diera globalisasi saat ini diantara negara-negara tidak dibatasi oleh jarak dan waktu, maka unsur-unsur budaya asing disengaja atau tidak disengaja akan mempengaruhi budaya Bali.

Daerah Bali memiliki keunikan dan keunggulan kebudayaan. Perpaduan harmonis antara potensi kebudayaan dan sumber daya manusia yang kreatif dengan didukung alam yang mempesona merupakan modal dasar untuk menopang keunggulan yang kompetitif daerah Bali sebagai daerah tujuan wisata. Sebagai konsekuensi daerah tujuan wisata; wisatawan manca negara dan domestik, maka mobilitas penduduk (migrasi) akan selalu terjadi di Bali. Fakta yang ada menunjukan jumlah “kaum pendatang”, khususnya etnis Nusantara cukup besar di Bali. Hal ini paling tidak dilegitimasi oleh jumlah paguyuban etnis Nusantara yang ada di Bali kurang lebih dengan jumlah 24 paguyuban. Hal ini mengindikasikan bahwa, keadaan penduduk Bali telah berkembang menjadi masyarakat yang pluralistik dan multikulturalistik.

Dalam kapasitasnya sebagai daerah kunjungan wisata (tourist destination), Bali dianggap sangat menjanjikan dari sudut ekonomi. Oleh karena itu, mobilitas penduduk (migrasi) akan terus berlangsung ke Bali. Fakta selama ini menunjukan banyak “kaum pendatang” (luar Bali) yang sengaja datang ke Bali dengan berbagai macam tujuan dan kepentingan, baik sebagai pedagang, bisnis, mencari lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Maraknya para pendatang sangat terasa bersamaan dengan datangnya hari-hari besar keagamaan, seperti; Natal, Idul Fitri, dan Tahun Baru. Ada kebiasaan “mudik” atau pulang kampung yang sudah mentradisi bagi tiap pemeluk agama pada hari-hari besar tersebut. Mereka (para migran) bertemu keluarga dan membawa pulang hasil kerja mereka selama di rantau. Dalam hal ini ada kebiasaan yang menyertainya ketika mereka dari kampung daerah asal, kembali ke perantauan setelah usai merayakan hari Raya tersebut, tidak jarang juga mereka membawa sanak famili yang ada di daerah asalnya, terutama yang masih mencari lapangan kerja (pengangguran).

Ada sebuah dalil yang tak terbantahkan, bahwa migrasi (perpindahan penduduk) selalu banyak membawa konsekuensi yang lebih banyak negatifnya. Migrasi akan menyebabkan terjadinya persaingan didalam perebutan lapangan kerja, dan tidak ketertampungan dalam lapangan kerja akan mendorong terjadinya berbagai penyimpangan sosial (social phatology). Sudah menjadi anak kandung bahwa migran selalu membawa “anak kandung” yang bernama kriminal atau berbagai bentuk dunia gelap (black activities) lainnya.

Masalahnya akan menjadi besar manakala migrasi terjadi antar wilayah dengan ethnik atau tatanan cultur yang berbeda. Dengan sendirinya akan terjadi ketegangan ethnik (ethnic tensien) yang dapat mengarah pada konflik terbuka. Kalau populasi migrasi begitu besar, sehingga mengganggu dominasi ethnik lokal, maka budaya lokalpun akan kehilangan identitasnya, atau paling tidak akan kehilangan warna (Pitana, Bali Post, 4-1-2001)

Terlepas dari efek negatif sebagaimana dikemukakan Pitana di atas, keberadaan “kaum pendatang” (migran) di Bali sesungguhnya bisa dilihat pada posisi positif. Keanekaragaman budaya “pendatang” (migran) secara tidak langsung akan ikut memberi warna terhadap identitas kebudayaan Bali. “Kaum pendfatang” (migran) dengan keanekaragaman budayanya merupakan “tambang emas” yang selama ini belum terjamah secara maksimal. Tidak bisa dihindari, para “kaum pendatang” (migran) akan membawa kebudayaannya ke Bali. Peristiwa-peristiwa budaya yang terjadi di daerah asal “kaum pendatang” (migran) akan bisa dielaborasikan dengan berbagai peristiwa budaya yang terjadi di Bali, terutama di dalam Seni Pertunjukannya.

Dari prespektif sejarah, kebudayaan Bali memiliki keterbukaan dengan kebudayaan luar dan memperlihatkan sifat fleksibel dan adaptif. Potensi ini penting artinya untuk menghindari perbenturan antar budaya. Jika dilihat dari tatanan sejarah nasionalisme Indonesia, juga dapat dipahami bahwa konsep wawasan kebangsaan adalah “persatuan dan kesatuan”. Seperti dari pernyataan Presiden Soeharto, pada Dharma Santi Penyepian 1997, dalam Dewa Atmaja (2002), “bahwa dari kenyataan keanekaragaman suku bangsa, adat istiadat dan budaya di Indonesia yang penting bukan masing-masing suku, bahasa, atau budayanya, akan tetapi keseluruhan suku bangsa, adat-istiadat, budaya, dan bahasanya. Jadi itulah hakekat dari wawasan kebangsaan “Persatuan dan kesatuan”.

Sumber : http://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/artikel/article/view/407

Nama : Dhaniar Kurniasari
Kelas : 1KA32
NPM : 11110921

4 comments: